Takdir di Lauhul Mahfudz dan Ilmu Allah yang Mahaluas
Lauhul Mahfudz disebut dalam Al-Qur’an sebagai kitab tempat tertulisnya segala sesuatu, bahkan sebelum kejadian itu terjadi. Allah berfirman:
“Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di bumi dan pada dirimu, melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz), sebelum Kami menciptakannya.” (QS. Al-Hadid: 22)
Para ulama tafsir seperti Imam Al-Qurthubi menyebut bahwa catatan ini mencakup segala aspek kehidupan: umur, rezeki, peristiwa kecil hingga besar, dan bahkan seluruh kemungkinan yang bisa terjadi. Artinya, Allah Maha Mengetahui tidak hanya yang terjadi, tapi juga apa yang mungkin terjadi, seandainya manusia memilih jalan lain.
Sunnatullah sebagai Jalur Umum Takdir
Allah menciptakan dunia dengan hukum sebab-akibat. Api membakar, air membasahi, usaha menghasilkan sesuatu — inilah yang disebut sunnatullah. Namun Allah juga berkuasa penuh untuk menangguhkan hukum ini jika dikehendaki-Nya, seperti ketika api tidak membakar Nabi Ibrahim:
“Wahai api, jadilah kamu dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya: 69)
Peristiwa ini menunjukkan bahwa meskipun hukum alam bersifat tetap, Allah bisa melampaui semua itu. Dalam konteks inilah kita memahami bahwa sunnatullah adalah bentuk takdir umum, sedangkan takdir khusus dapat berlaku jika Allah menghendakinya.
Kebebasan Memilih dan Tanggung Jawab Manusia
Dalam pandangan Islam, manusia bukan robot yang dikendalikan penuh. Ia diberi akal dan kehendak bebas, serta petunjuk untuk menilai benar dan salah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insan: 3)
Inilah dasar tanggung jawab manusia. Ia bebas memilih, dan karena itulah ia bertanggung jawab atas pilihannya. Namun, kebebasan ini tidak mutlak — ia tetap berada dalam cakupan ilmu Allah. Maka takdir bukan untuk ditakuti, tetapi dijalani dengan sadar.
Adab Nabi Ibrahim & Nabi Adam: Kebaikan dari Allah, Keburukan dari Diri Sendiri
Adab Nabi Ibrahim & Nabi Adam: Kebaikan dari Allah, Keburukan dari Diri Sendiri Dalam ajaran Islam, para nabi mengajarkan adab yang sangat tinggi ketika berhadapan dengan takdir dan ketentuan Allah. Mereka tidak menyalahkan Allah atas keburukan yang terjadi, meskipun meyakini bahwa segala sesuatu berada dalam kuasa dan izin-Nya. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, dalam doanya yang penuh kelembutan, berkata:
"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku." (QS. Asy-Syu‘ara: 80)
Perhatikan bahwa beliau tidak mengatakan “Allah yang membuatku sakit”, meskipun itu benar dari sisi takdir. Ini menunjukkan rasa adab yang dalam kepada Allah, mengakui kelemahan diri tanpa menisbatkan keburukan secara langsung kepada-Nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah:
“Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa: 79)
Begitu pula dengan Nabi Adam ‘alaihis salam, ketika beliau dan istrinya memakan buah terlarang dan menyadari kesalahan mereka, doanya mencerminkan pengakuan dosa dan harapan akan kasih sayang Allah:
“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A‘raf: 23)
Keduanya tidak menyalahkan Allah, melainkan mengakui bahwa kesalahan berasal dari diri mereka sendiri. Inilah adab para nabi: mengakui keburukan sebagai akibat dari pilihan sendiri, dan mengembalikan segala kebaikan kepada Allah sebagai bentuk syukur dan penghormatan. Sikap ini menjadi pelajaran besar bagi kita bahwa meskipun takdir mencakup segalanya, manusia tetap memikul tanggung jawab atas pilihannya, dan harus selalu bersandar kepada rahmat dan ampunan Allah.
Allah Menghendaki Kebaikan, Bukan Kebinasaan
Salah satu sifat agung Allah adalah rahmat-Nya. Ia tidak menciptakan manusia untuk disiksa atau disesatkan, melainkan untuk diberi kemudahan menuju kebaikan:
“Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu, tetapi Dia menghendaki kemudahan bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
“Dan Tuhanmu tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fussilat: 46)
Karena itu, jika keburukan terjadi, itu bukan karena Allah menginginkannya, melainkan karena manusia tidak mengambil pilihan terbaik yang Allah sediakan.
Doa dan Usaha: Jalan Menuju Takdir Terbaik
Doa bukan sekadar permintaan, tapi bentuk kesadaran bahwa kita butuh bimbingan-Nya dalam memilih. Usaha bukan untuk melawan takdir, tapi justru cara untuk menjalaninya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebaikan.” (HR. Tirmidzi, Hasan)
Konsep ini dikenal dengan qadar mu‘allaq, yaitu takdir yang ditetapkan dengan syarat tertentu: bisa berubah jika manusia berdoa, bertobat, atau beramal. Dalam kerangka ini, doa dan ikhtiar bukan sesuatu yang sia-sia, melainkan alat untuk menjaring rahmat Allah.
Penutup: Menyelaraskan Diri dengan Kehendak-Nya
Takdir bukan belenggu, melainkan undangan untuk berjalan bersama Allah. Manusia diberikan akal untuk memilih, hati untuk merasakan, dan doa untuk memohon pertolongan. Segala kebaikan berasal dari-Nya, dan keburukan adalah peringatan agar kita kembali ke jalan-Nya.
Catatan Referensi:
1. Tafsir Al-Qurthubi, QS. Al-Hadid: 22
2. Al-Qur’an, QS. Al-Hadid: 22
3. Al-Qur’an, QS. Al-Anbiya: 69
4. Al-Qur’an, QS. Al-Insan: 3
5. Al-Qur’an, QS. Asy-Syu‘ara: 80
6. Al-Qur’an, QS. An-Nisa: 79
7. Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah: 185
8. Al-Qur’an, QS. Fussilat: 46
9. Hadis Riwayat Tirmidzi no. 2139, dinilai hasan oleh Al-Albani
0 Comments